Relatifnya Kemunculan Lailatul Qadar

Seperti diketahui bersama, masyarakat secara umum mengetahui bahwa waktu kemunculan ليلة القدر 'lailatul qadar' (Apa itu lailatul qadar dan apa keutamaannya? Silakan baca di sini) terjadi pada 10 malam terakhir Ramadan berdasarkan hadis [1][2][3]. Di samping itu, diketahui pula bahwa dari 10 malam terakhir itu, lailatul qadar kemungkinan besar jatuh pada salah satu malam ganjilnya [1], yang kalau dalam pandangan umum, malam tersebut adalah malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadan dihitung dari awal Ramadan [4][5].

Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar (kalau di ranah IT, ini dinamakan fuzzy #abaikan :p). Jika diperhatikan secara lebih mendalam akan makna hadis [1] maka tidak ada teks eksplisit yang menyatakan bahwa penghitungan malam ganjil tersebut dihitung dari awal munculnya Ramadan (tanggal 1), justru hadis tersebut menyebutkan bahwa kemunculannya (malam ganjil) itu dihitung dari akhir Ramadan. Dan seperti kita ketahui, Ramadan atau bulan-bulan hijriah lainnya tidak mesti berjumlah 30, terkadang jumlahnya hanya 29 hari. Jika Ramadan tersebut terdiri atas 30 hari, pandangan awal tersebut bisa dinyatakan benar, yakni malam ke-21 dari awal Ramadan adalah juga malam pertama dari 10 malam terakhir Ramadan jika dihitung dari akhir Ramadan. Namun, jika jumlah hari Ramadan hanya 29, maka malam ke-20 itu justru dianggap sebagai malam ganjil pertama dari 10 malam terakhir Ramadan, sehingga pandangan awal tersebut dapat dinyatakan kurang tepat. Hal tersebut yang menjadi alasan Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, Lc., M.A., yang sudah lumayan kondang di Surabaya itu untuk menyatakan bahwa ganjilnya 10 malam terakhir Ramadan tersebut bersifat relatif.

Di samping itu, relativitas ganjilnya 10 malam terakhir Ramadan tersebut juga didasarkan pada pengalaman penentuan awal Ramadan yang seringkali berbeda, khususnya di Indonesia [6][7][8] (you know this so well, lah). Sehingga, bisa jadi antara satu golongan dengan golongan lainnya memiliki hari-hari ganjil yang berbeda. Dengan asumsi jumlah hari Ramadan 30, maka golongan pertama akan menyatakan malam ganjil pertama dari 10 malam terakhir Ramadan adalah malam ke-21, sementara golongan lainnya akan menyatakan bahwa malam tersebut adalah malam ke-20 (golongan yang memulai Ramadan lebih akhir 1 hari) atau malam ke-22 (golongan yang memulai Ramadan lebih awal 1 hari).

Dengan demikian, untuk mendapatkan keutamaan lailatul qadar, jika didasarkan atas relativitas malam ganjil tersebut, sangat dianjurkan untuk 'full mempeng' pada 10 malam terakhir Ramadan, biasanya dalam bentuk iktikaf, tidak peduli apakah pas malam ganjil atau genap, karena memang tidak ada yang tau pasti kapan lailatul qadar tersebut terjadi. Memang, ada hadis yang menyebutkan akan tanda-tanda lailatul qadar seperti yang disebutkan di [9]. Namun, apalah daya kita sebagai manusia. Seringkali 'penyanaan' kita akan sesuatu itu ternyata salah. Jika demikian, anjuran untuk 'full mempeng' ini kira-kira bisa kita jadikan sebagai sarana agar bisa mendapatkan keutamaan malam lailatul qadar tersebut. Betul, betul, betul?

Sekian... dan terima kasih telah berkenan membaca :)

Disarikan dari ceramah Subuh Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri, Lc., M.A. di Masjid Al-Iman, Jl. Sutorejo Tengah 12, Mulyorejo, Surabaya, 17 Ramadan 1436 H (4 Juli 2015 M).
-

REFERENSI
[1]Sahih Al-Bukhari 2017.
[2]Sahih Al-Bukhari 2020.
[3]Sahih Muslim 1169.
[4]
Al-Hilaaly, Syaikh Salim bin ‘Id dan Hamid, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul. (2014). Membidik Malam Lailatul Qadar, Inilah Tanda Tandanya. EraMuslim.
[5]Tuasikal, Muhammad Abduh. (2015). Tanda Seseorang Mendapatkan Lailatul Qadar. Rumaysho.
[6]TEMPO.CO. (2013). NU dan Muhammadiyah Mungkin Berbeda Awal Puasa.
[7]Solopos.com. (2014). RAMADAN 2014: Awal Ramadan Berbeda Lagi, Idul Fitri Serentak.
[8]Ali, Muhammad. (2014). Muhammadiyah: Awal Ramadan Beda Tapi Lebaran Bareng. Liputan6.com. 
[9]
Ansor, M. Mujib. (2012). Lailatul Qadar. Yayasan Bina Al-Mujtama'.

Komentar